Rabu, 19 Mei 2010

प्रोसेस केपेरावातन pe

BAB I
PENDAHULUAN

A. Sistem Saraf Otonom
Sistem syaraf otonom merupakan bagian sistem syaraf yang mengatur fungsi visceral tubuh. Sistem ini mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, berkeringat, suhu tubuh dan aktivitas lain.
Saraf otonom terdiri dari saraf praganglion, ganglion, dan saraf pasca ganglion yang mempersarafi sel efektor. Saraf otonom terdiri dari: saraf aferen yang sentripetal disalurkan melalui N vagus, pelvikus, splanknikus dan saraf-saraf otonom lainnya. Tidak ada perbedaan yang jelas antara serabut aferen system saraf otonom dengan serabut aferen sisten saraf somatik, sehingga tidak dikenal obat yang secara spesifik dapat memepengaruhi serabut aferen otonom.
Saraf otonom juga berhubungn dengan saraf somatik sebaliknya, kejadian somatik dapat mempengaruhi fungsi organ otonom. Pada susunan saraf pusat terdapat beberapa pusat otonom, misalnya di medulla oblongata terdapat pengaturan pernapasan dan tekanan darah; hipotalamus dan hipofisis yang mengatur suhu tubuh, keseimbangan air metabolisme karbohidarat dan lemak, pusat tidur, dsb. Hipotalamus dianggap sebagai pusat susunan saraf otonom. Walaupun demikian ada pusat yang lebih tinggi lagi yang dapat mempengaruhinya yaitu korpus striatum dan korteks serebrum yang dianggap sebagai koordinator antara system otonom dan somatic.
Serat eferen terbagi dalam system simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis disalurkan melalui serat torakolumbal dari torakal 1 sampai lumbal 3, dalam system ini termasuk ganlia paravertebral, pravertebal, dan ganglia terminal. Sistem parasimpatis atau kranosakal outflow disalurkan melalui saraf otak ke III, VII, IX, dan X, dan N.
Secara umum dapat dikatakan bahwa system simpatis dan parasimpatis memperlihatkan fungsi yang antagonistic. Bila satu mengahambat suatu fungsi , maka yang lain memacu fungsi tersebut. Contoh yang jelas adalah midriasis terjadi dibawah pengaruh saraf simpatis dan miosis di bawah pengaruh parasimpatis.
Sistem simpatis aktif setiap saat walupun aktifitasnya bervariasi dari waktu ke waktu. Dengan demikian penyesuaian tubuh terhadap lingkungan terjadi terus menerus . Dalam keadaan darurat system simpatoadrenal berfungsi sebagai satu kesatuan. Sistem ini bekerja secara serentak: denyut jantung meningkat, tekanan darah meningkat, darah terutama dialirkan ke otot rangaka, glukosa darah meningkat, dilatasi bronkus, dan midriasis. Sistem simpatis fungsinya lebih terlokalisasai , tidak difus seperti system simpatis, dengan fungsi primer reservasi dan konservasi sewaktu aktifitas organisme minimal. Sistem ini mempertahankan denyut jantung dan tekanan darah pada fungsi basal, menstimulasi system pencernaan berupa peniengakatanaaa motilitas dan sekresi getah pencernaan, meningkatkan absorbsi makanan, memproteksi retina terhadap cahaya berlebihan, serta mengosongkan rectum dan kandung kemih.
Respon berbagai organ efektor terhadap system syaraf otonom :
1. Lepas muatan kolinergik
Berbagai fungsi yang ditimbulkan oleh kegiatan system saraf otonom divisi kolinergik adalah yang berkaitan dengan aspek vegetative kehidupan sehari-hari. Misalnya kegiatan kolinergik membantu pencernaan dan absrobsi makanan dengan meningkatkan kegiatan otot usus halus, meningkatkan sekresi lambung dan merelaksasikan sfinkter pylorus. Mempermudah kerja asetilkolin postsinaptik karena merupakan vasodilator maka meningkatkan aliran darah di organ sasaran.
2. Lepas muatan noradrenergik
Divisi noradrenergik melepaskan impuls sebagai suatu unit dalam keadaan darurat. Pengaruh pelepasan impuls sangat berarti dalam menyiapkan individu mengatasi keadaan darurat. Misalnya kegiatan noradrenergik menimbulkan relaksasi akomodasi dan menyebabkan dilatasi pupil, mempercepat denyut jantung dan meningkatkan tekanan darah. Kegiatan lain menurunkan ambang di formasi retikuler dan meningkatkan kadar glukosa plasma serta asam lemak bebas.
Farmakologi otonom
Hubungan dijalur motorik otonom perifer merupakan tempat yang cocok untuk percobaan farmakologi terhadap fungsi visera karena transmisinya bersifat kimiawi. Neurotransmeter disintesis disimpan diujung-ujung saraf dan dilepaskan dekat neuron, sel otot atau kelenjar yang merupakan tempat kerjanya. Transmeter itu diberikan dengan reseptor disel dengan memicu kegiatan, kemudian dipindahkan dari daerah tersebut melalui mekanisme metabolisme. Sebagai obat dan toksin yang mempengaruhi kegiatan system saraf otonom dan berbagai mekanisme yang menyebabkan pengaruh tersebut.

B. Penggolongan Obat yang Bekerja di System Saraf Otonom
Menurut efek utamanya, maka obat otonom dapat dibagi ke dalam 5 golongan, yaitu :
1. Parasimpatomimetik atau Kolinergik.
Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf parasimpatis.

2. Simpatomimetik atau Adrenergik
Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf simpatis.
3. Parasimpatolitik atau Penghambat kolinergik
Efek obat golongan ini menghambat timbulnya efek akibat aktivitas saraf parasimpatis.
4. Simpatolitik atau Pengahambat adrenergic
Efek obat golongan ini menghambat timbulnya efek akibat aktivitas saraf simpatis.
5. Obat ganglion
Efek obat golongan ini merangsang atau menghambat penerusan impuls ganglion.

C. Penggolongan Obat Cardiovaskuler
Penggolongan obat-obat kardiovaskuler terdiri dari : kelompok obat yang bekerja pada system saraf otonom cardiovaskuler, yaitu
1. glikosida jantung
Digitalis, salah satu dari obat-obat tertua, dipakai sejak tahun 1200, dan sampai kini masih terus dipakai dalam bentuk yang telah dimurnikan. Digitalis dihasilkan dari timbuhan foxglove ungu dan putih, dapat bersifat racun. Pada tahun 1785, William Withering dari inggris menggunakan digitlis untuk menyembuhkan sakit bengkak, yaitu edema pada ekstremitas akibat insufisiensi ginjal dan jantung. Jika otot jantung (miokardium) melemah dan membesar, maka otot jantungakan kehilangan kemampuannya untuk memompakan darah dari jantung kedalam sirkulasi sistemik. Keadaan ini disebut payah jantung, atau kegagalan untuk memompa. Jika mekanisme konpensasinya gagal dan jaringan perifer serta paru-paru mengalami pembendungan, keadaan ini disebut payah jantung kongstif.
Preparat digitalis juga dipakai untuk memperbaki fibrilasi atrial (aritmia jantung dengan kontraksi miokardium atrium yang cepat dan tidak terkoordinasi) dan flutter atrial (aritmia jantung dengan kontraksi yang cepat 200 – 300 denyut/menit).
Glikosida jantung juga disebut sebagai glikosida digitalis. Kelompok obat ini menghambat pompa natrium-kalium, sehingga akan meningkatkan kalsium intraseluler, yang menyebabkan serabut otot jantung berkontraksi lebih efisien. Preparat digitalis mempunyai tiga khasiat pada otot jantung : (1) kerja inotropik positif (meningkatkan kontraksi miokardium), (2) kerja kronotropik negatif (memperlambat denyut jantung), dan (3) kerja dromotropik negatif (mengurangi hantaran sel-sel jantung). Meningkatnya kontraktilitas miokardium akan meningkatkan kerja jantung, perifer dan ginjal dengan meningkatkan curah jantung, mengurangi edema, dan meningkatkan ekskresi cairan. Akibatnya, retensi cairan pada paru-paru dan ekstremitas akan berkurang.
2. Anti angina
Obat-obat anti angina, diapakai untuk mengobati angina pektoris (nyeri jantung yang mendadak akibat tidak cukupnya aliran darah karena adanya sumbatan pada arteri koroner yang menuju jantung). Dengan berkurangnya aliran darah, maka oksigen yang menuju ke miokardium juga berkurang dan ini menimbulkan rasa sakit. Nyeri angina sering kali digambarkan oleh klien sebagai rasa kencang, tekanan di tengah-tengah dada, dan nyeri menjalar ke bawah lengan kiri. Nyeri yang menjalar menuju leher dan lengan kiri sering kali terjadi pada angina pektoris yang berat. Serangan angina dapat berlanjut menjadi infark miokardium (serangan jantung).
Nyeri angina biasanya hanya berlangsung beberapa menit. Frekuensi nyeri angina tergantung dari banyak faktor termasuk jenis angina yaitu (1) klasik (stabil) yang terjadi pada keadaan stress atau bekerja; (2) tidak stabil (Pra-Infark) yang sering kali terjadi sepanjang hari dan semakin berat dan (3) varian (prinz metal), yang terjadi sewaktu istirahat. Kedua jenis pertama disebabkan oleh penyempitan atau sumbatan partial arteri koroner; angina varian disebabkan oleh pembuluh darah (vasospasme).
Obat-obatan antiangina meningkatkan aliran darah baik dengan menambah suplai oksigen atau dengan mengurangi kebutuhan miokardium akan oksigen. Tiga jenis antiangina adalah nitrat, penghambat beta, dan penghambat rantai kalsium. Efek sistemik utama dari nitrat adalah penurunan beban kerja jantung. Penghambat beta dan penghambat rantai kalsium mengurangi beban kerja jantung dan mengurangi kebutuhan oksigen.
Cara-cara nonfarmakologis untuk mengurangi serangan angina adalah dengan menghindari makanan yang berlebihan, merokok, perubahan cuaca yang ekstrim, kerja yang berlebihan dan luapan emosi. Nutrisi yang tepat, olahraga yang cukup, istirahat yang cukup, dan teknik relaksasi harus dilakukan sebagai tindakan pencegahan.
a. Nitrat
Nitrat, dikembangkan pada tahun 1840-an, merupakan agen-agen pertama yang dipakai untuk meredakan angina. Nitrogliserin tidak akan ditelan karena akan mengalami metabolisme tingkat pertama (first-pass) oleh hati, yang mengurangi efektifitasnya; oleh karena itu obat ini diberikan secara sublingual (dibawh lidah) dan dengan cepat diabsorpsi kedalam sirkulasi melalui pembuluh darah sublingual. Tablet sublingual tersedia dalam dosis yang berbeda-beda, tetapi dosis rata-rata yang diresepkan adalah 0,4 mg atau 1/50 grain, setelah mengalami nyeri jantung diulang setiap 5 menit sampai 3 dosis. Klien dapat mengalami rasa pusing, ingin pingsan, atau sakit kepala akibat vasodilatasi perifer.
b. Penghambat Beta
Penghambat (adrenergik) beta menghambat reseptor beta1, dengan demikian mengurangi denyut jantung. Obat-obat ini dipakai sebagai antiangina, antiaritmia, dan antihipertensi. Penghambat beta efektif sebagai anti angina karena mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokardium, obat ini menurunkan kebutuhan pemakaian oksigen.
Penghambat beta dibedakan menjadi, penghambat beta tidak selektif (menghambat beta 1 dan beta2) dan penghambat beta (jantung) selektif (menghambat beta1). Contoh penghambat beta tidak selektif adalah propanolol Iinderal), nadolol (Cogard), dan pindolol (Visken). Obat-obat ini menurunkan denyutan jantung dan menyebabkan bronkokontriksi. Penghambat beta selektif (kardioselektif) bekerja lebih kuatterhadap reseptor beta1, sehingga mengurangi denyut jantung.contoh obat-obat golongan ini adalah atenolol (Tenormin) dan metoprolol (Lopresor).
c. Penghambat Rantai Kalsium
Penghambat rantai kalsium, juga dikenal sebagai penghambat merupakan kelompok obat terbaru yang dipasarkan (1982) untuk pengobatan angina pektoris, aritmia tertentu, dan hipertensi. Kalsium mengaktivasi kontraksi miokardium, menambah beban kerja jantung, dan keperluan jantung akan oksigen. Penghambat kalsium menurunkan kontraktilitas jantung (eke inotropik negatif) dan beban kerja jantung, sehingga dengan demikian mengurangi keperluan jantung akan oksigen. Obat ini efektif dalam mengendalikan angina varian dengan merelaksasikan arteri koroner dan dalam meredakan angina klasik dengan mengurangi kebutuhan oksigen.
3. Antiaritmia
Disritmia (aritmia) jantung didefinisikan sebagai setiap penyimpangan frekuensi atau pola denyut jantung yang normal; termasuk pola denyut jantung terlalu lambat (bradikardia), terlalu cepat (takikardia), atau tidak teratur. Istilah disritmia (irama jantung yang terganggu) dan aritmia (tidak ada irama) seringkali dipakai berganti-ganti, walaupun artinya sedikit berbeda.
Anti disritmia diklasifikasikan menjadi empat kategori : (1) penghambat saluran (natrium) sepat IA (I) dan IB (II); (2) Penghambat Beta; (3) obat-obat yang memperpanjang repolarisasi dan (4) penghambat saluran (kalsium) lambat). Ketika natrium dan kalsium memasuki suatu sel jantung, terjadi depolarisasi (kontraksi miokardium). Natrium akan masuk dengan cepat untuk memulai depolarisasi, dan diikuti oleh kalsium yang masuk untuk mempertahankan depolarisasi tersebut. Elektrolit-elektrolit ini akan mengiritasi sel dan menyebabkan kontraksi. Pada keadaan iskemia miokardium, kontraksinya bisa tidak teratur.
Penghambat saluran (natrium) cepat mengurangi lajunya natrium memasuki sel-sel jantung. Respon obat itu adalah (1) berkurangnya laju hantaran dalam jaringan jantung; (2) supresi otomatisitas yang mengurangi kemungkinan fokus-fokus ektopik;dan (3) meningkatkan waktu pemulihan (periode repolarisasi atau refraktori). Ada dua subgrup penghambat saluran cepat ; IA (I) untuk pemakaian lama (quinidine, prokainamid), dan IB (II) untuk pemakaian darurat (lidokain). Obat-obat tipe IB juga bersifat lokal anastetik.
4. Antihipertensi
Golongan obat ini dapat menurunkan tekanan darah., menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler yaitu stroke, iskemia jantung dan gagal jantung kongestif.
Obat anti hipertensi antaralain:
a. Diuretik
Efek diuretik meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga mengurangi volume plasma dan cairan intrasel. TD turun akibat berkurangnya curah jantung. Contoh: diuretik tiazid merupakan obat pertama dalam terafi antihipertensi yang diberikan pada penderita dengan fungsi ginjal normal.
b. Penghambat adenergik (β-bloker)
Obat ini diberikan pertamakali pada penderita hipertensi ringan dan sedang. Obat ini tidak menimbulkan toleransi pada penggunaan jangka panjang sebagai antihipertensi.
c. Vasodilator
Terdiri dari hidralazin (merelaksasi secara langsung otot polos dengan mekanisme yang hampir sama dengan kerja nitrat), minoksidil (kerjanya langsung pada sel otot polos vaskuler dengan meningkatkan permeabilitas membrane sel terhadap K+ sehingga terjadi hiperpolarisasi), diazoksid (bekerja pada sel otot polos arteriol) dan natrium nitroprusid (mengaktifkan enzim guanilat siklase pada otot polos pembuluh darah dan menyebabkan dilatasi arteriol dan venula).
d. Penghambat enzim konversi angiotensin
Kaptropil adalah penghambat enzim konversi angiotensin yang pertama ditemukan.
e. Antagonis kalsium
Terdiri dari golongan dihidropiridin, bioavailabilitas oral, kadar puncak, waktu paruh, metabolism dan ekskresi.

BAB II
PROSES KEPERAWATAN PENGKAJIAN OBAT SYSTEM SARAF OTONOM CARDIOVASKULER

A. GLIKOSIDA JANTUNG
1. Pengkajian
a. Kaji riwayat pemakaian obat. Jika klien memakai digoksin bersama dengan diuretik yang tidak menahan kalium harus memakan makanan yang kaya kalium atau memakai suplemen kalium untuk menghindari terjadinya hipokalemia dan toksisitas digitalis..
b. Periksa tanda-tanda vital. Pada golongan obat glikosida jantung dapat menyebabkan bradikardi maupun takhikardi karena meningkatnya resistensi vascular sistemik dan menurunnya denyut jantung
c. Kaji kadar kalium tubuh sebelum dilakukan pemberian furosemid. Karena furosemid dapat memperberat kehilangan kalium dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan hipokalemi.
d. Kaji fungsi ginjal dan hati seperti pemeriksaan ureum, creatinin dan urine rutin. Untuk mengidentifikasi adanya kerusakan pada ginjal atau hati.
e. Periksa kadar protein plasma karena perbedaan ikatan protein akan menimbulkan perbedaan volume distribusi dan kadar terapi.
f. Kaji adanya oedema. Mekanisme berkurangnya oedema oleh digitalis selain karena perbaikan curah jantung, digitalis akan menurunkan aktivitas simpatis karena perbaikan hemodinamik sehingga aliran darah keginjal membaik. Efek langsung digitalis terhadap serabut aferen otonom dijantung mengakibatkan penurunan impuls simpatis seluruh tubuh termasuk ginjal.
2. Perencanaan
a. Beritahu klien untuk makan makanan yang kaya akan kalium untuk mempertahankan kadar kalium serum yang normal, contohnya sayuran dan buah-buahan segar.
b. Beritahu klien cara untuk memeriksa denyut nadi setiap hari sebelum memakai preparat digitalis dan melaporkan jika denyut nadi kurang dari 60 dpm atau ada penurunan yang jelas dari denyut nadi.
c. Jangan dibingungkan antara digoksin dan digitoksin. Beritahu untuk baca label obat dengan hati-hati.
d. Periksa adanya tanda-tanda edema perifer dan paru-paru, yang menunjukan adanya payah jantung kongestif.
e. Hati-hati dalam pemberian terafi digitalis karena dapat menimbulkan keracunan seperti pemberian dosis beban yang terlalu cepat, akumulasi akibat dosis penunjang yang terlalu besar, adanya predisposisi untuk keracunan.
3. Evaluasi
a. Evaluasi efektifitas glikosida jantung dengan mencatat respons klien terhadap obat dan setiap efek samping yang terjadi. Teruskan memantau denyut nadi.
b. Buatlah catatan jika klien memakai obat sesuai dengan resep (dosis dan saat yang tepat).
c. Kadar serum terapeutik untuk digoksin adalah 0,5-2,0 ng/mL dan untuk digitoksin adalah 10-35 ng/mL.
d. Obat oral digoksin mulai bekerja 1,5-6 jam, digitoksin 3-6 jam sedangkan obat IV digoksin 5-30 menit dan digitoksin 0,5-2 jam.
e. Waktu paruh eliminasi digoksin 1-6 hari dan sangat ditentukan oleh fungsi ginjal, digitoksin 7 hari dan tidak banyak berubah pada faal hati.

B. Anti aritmia
1. Pengkajian
a. Dapatkan riwayat kesehatan dan obat : palpitasi jantung, batuk dan nyeri dada, termasuk tipe, lama dan beratnya, angina sebelumnya atau aritmia, dan obat-obat yang biasanya diapakai oleh klien.
b. Periksa tanda-tanda vital dan EKG sebelum diberikan obat anti aritmia dan bandingkan setelah mengkonsumsi obat. Karena obat-obatan anti aritmia dapat menyebabkan hipotensi dan bradikardia.
c. Periksa kadar terapeutik obat di dalam serum. Jika kadar serum lebih rendah dari normal, pengobatan tidak efektif, dan bila lebih tinggi dari normal, akan timbul keracunan.
d. Kaji adanya mual, muntah dan masalah neurologi. Karena merupakan efek samping dari obat penghambat kalsium.
e. Kaji kadar digoksin plasma. Karena dapat berpengaruh terhadap interaksi obat.
f. Kaji fungsi ginjal dan hati.
2. Perencanaan
a. Pantau tanda-tanda vital. Pada pemakaian penghambat saluran natrium bisa timbul hipotensi.
b. Bila pemberian obat secara IV atau bolus harus diberikan dalam periode 2-3 menit atau seperti yang dituliskan dokter.
c. Pantau EKG untuk pola abnormal dan laporkan hasilnya.
3. Evaluasi
a. Evaluasi efektifitas antidisritmia yang diresepkan dengan membandingkan denyut jantung dengan denyut jantung dasar dan nilai respons klien terhadap obat. Laporkan efek samping dan reaksi yang merugikan. Regimen obat mungkin perlu disesuaikan.
b. Waktu absropsi obat kuinidin oral 30-90 menit, waktu paruhnya 6 jam. Sediaan obat oral 200-300mg diberikan 3-4 kali perhari.
c. Waktu absropsi prokainamid oral (kapsul) 45-70 menit. Persediaan obat dalam kapsul 250-500 mg, dosis untuk IM 250-500 mg/ml.
d. Waktu absropsi disopiramid oral 1-2 jam dan waktu paruh eliminasi 5-7 jam. Persediaan tablet 100atau 150 mg basa, dosis total harian 400-800 mg terbagi atas 4 dosis.

C. Anti angina
1. Pengkajian
a. Periksa tanda-tanda vital. Mengidentifikasi adanya hipotensi
b. Kaji kebutuhan oksigen karena B-bloker dapat meningkatkan kebutuhan 02 melalui penurunan frekuensi denyut jantung, mengurangi suplai 02 karena vasokontriksi koroner akibat meningkatnya tonus ά adrenergic.
c. Kaji fungsi hati karena tempat terjadinya metabolism β-bloker.
d. Dapatkan riwayat medis dan pengobatan. Penghambat beta dan penghambat kalsium seringkali merupakan kontraindikasi jika klien menderita payah jantung kongestif. Obat-obat ini mempunyai efek inotropik negatif, yang mengurangi kontraktilitas miokardium.

2. Perencanaan
a. Pantau tanda-tanda vital. Hipotensi terjadi pada hampir semua obat antiangina.
b. Oleskan salep nitro-bid pada bagian yang ditandai pada kertas. Hindari menggunakan jari-jari tangan untuk menyebarkan salep, karena obat dapat diabsorpsi melalui kulit; pergunakan penekan lidah atau sarung tangan.
c. Minta klien untuk duduk atau berbaring sewaktu memakai nitrat untuk pertama kali. Setelah pemberian, periksa tanda-tanda vital klien pada keadaan berbaring dan duduk. Anjurkan klien untuk bangkit dengan perlahan-lahan jika ingin berdiri.
d. Tawarkan beberapa teguk air sebelum memberikan nitrat sublingual jika mulut merasa kering. Mulut yang kering dapat menghambat absorpsi obat.
e. Laporkan jika angina menetap.
3. Evaluasi
a. Nitrat
Mula kerja dari nitrogliserin tergantung dari cara pemberiannya. Pada pemberian sublingual dan interavena, mula kerjanya cepat (1 sampai 3 menit) dan metoda transdermal lebih lambat (30 sampai 60 menit). Masa kerja dari patch transdermal diperkirakan 24 jam. Karena salep nitro-Bid hanya efektif selama 6 sampai 8 jam, maka salep ini harus dioleskan kembali sampai 3 atau 4 kali she
b. Penghambat beta
Waktu paruh propanolol (Inderal) adalah 3-6 jam. Dari golongan penghambat beta selektif, atenolol (Tenormin) memiliki waktu paruh 6-9 jam dan metoprolol (lopresor), 3-7 jam. Mula kerja dari penghambat beta non-selektif propanolol adalah 30 menit, dan kerja puncaknya dicapai dalam 1-1,5 jam, dan masa kerjanya adalah 4-12 jam. Untuk penghambat beta selektif, mula kerja dari atenolol adalah 60 menit, puncak kerjanya dicapai dalam 2-4 jam, dan masa kerjanya adalah 24 jam, sedangkan mula kerja dari metoprolol dicapai dalam 15 menit dan lama kerjanya adalah 6-12 jam.
c. Penghambat kalsium
Mula kerjanya 10 menit untuk verapamil dan 30 menit untuk nifedipine dan diltiazem. Lama kerjanya adalah 3-7 jam (PO) dan 2 jam (IV) untuk verapamil dan 6-8 jam untuk nifedipine dan diltiazem.




D. Anti Hipertensi
1. Pengkajian
a. Tanya usia klien. Usia berpengaruh terhadap pemberian obat antihipertensi.
b. Pengobatan antihipertensi dapat menyebabkan penurunan reflek baroreseptor
c. Kaji apakah klien pernah mendapatkan obat hipertensi sebelumnya
d. Kaji tingkat aktivitas klien. Efek samping dari β-bloker dapat mengurangi kemampuan klien untuk berolahraga.
e. Kaji apakah pasien menderita penyakit paru seperti asma, PPOM. Terjadi bronkospasme.
f. Kaji fungsi ginjaldan hati.
g. Kaji efek samping metabolik dari diuretik. Diuretik dapat menyebabkan hipokalemia, hipomagnesemia, hiponatremia, hiperkalsemia dan hipertrigliserinemia.
h. Periksa kadar kreatinin serum ( ≥2,5 mg/dl)
2. Perencanaan
a. Periksa tekanan darah. Makin tinggi TD maka makin tinggi resiko terjadinya morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.
b. Modifikasi pola hidup. Menurunkan tekanan darah, contohnya menurunkan BB jika gemuk, aktivitas fisik teratur, pembatasan garam dan alcohol, mengurangi makanan yang mengandung kolesterol dan berhenti merokok.
c. Mengkaji adanya obesitas. Obesitas merupakan penyebab kegagalan dalam terafi hipertensi
d. Mengkaji kesiapan penderita untuk melakukan pengobatan. Karena apabila pasien tidak siap akan menyebabkan terafi ( ketidakpatuhan penderita, biaya pengobatan).
3. Evaluasi
a. Diuretik
1) Bendroflazid/bendroflumetazid ( Corzide® )
Edema dosis awal 5-10 mg sehari atau berselang sehari pada pagi hari; dosis pemeliharaan 5-10 mg 1-3 kali semingguHipertensi, 2,5 mg pada pagi hari. dapat menyebabkan hipokalemia, memperburuk diabetes dan pirai; mungkin memperburuk SLE ( eritema lupus sistemik ); usia lanjut; kehamilan dan menyusui; gangguan hati dan ginjal yang berat;porfiria.
2) Chlortalidone ( Hygroton®, Tenoret 50®, Tenoretic® )
Edema, dosis awal 50 mg pada pagi hari atau 100-200 mg selang sehari, kurangi untuk pemeliharaan jika mungkin.Hipertensi, 25 mg; jika perlu ditingkatkan sampai 50 mg pada pagi hari.
3) Hidroklorotiazid
Edema, dosis awal 12,5-25 mg, kurangi untuk pemeliharaan jika mungkin; untuk pasien dengan edema yang berat dosis awalnya 75 mg sehariHipertensi, dosis awal 12,5 mg sehari; jika perlu ditingkatkan sampai 25 mg pada pagi hari
4) Furosemide ( Lasix®, uresix®, impugan® )
Oral , dewasa 20-40 mg pada pagi hari, anak 1-3 mg/kg bb; Injeksi, dewasa dosis awal 20-50 mg im, anak 0,5-1,5mg/kg sampai dosis maksimal sehari 20 mg; infus IV disesuaikan dengan keadaan pasien. dapat menyebabkan hipokalemia dan hiponatremia; kehamilan dan menyusui; gangguan hati dan ginjal; memperburuk diabetes mellitus; perbesaran prostat; porfiria.
5) Amilorid HCL ( Amiloride®, puritrid®, lorinid® )
Dosis tunggal, dosis awal 10 mg sehari atau 5 mg dua kali sehari maksimal 20 mg sehari. Kombinasi dengan diuretik lain 5-10 mg sehari. dapat menyebabkan hipokalemia dan hiponatremia; kehamilan dan menyusui; gangguan hati dan ginjal; memperburuk diabetes mellitus; usia lanjut.
6) Spironolakton (Spirolactone®,Letonal®, Sotacor®, Carpiaton®)
100-200 mg sehari, jika perlu tingkatkan sampai 400 mg; anak, dosis awal 3 mg/kg dalam dosis terbagi. Dapat menyebabkan hipokalemia dan hiponatremia; kehamilan dan menyusui; gangguan hati dan ginjal; usia lanjut.
b. Penghambat adenergik (β-bloker)
Penurunan TD oleh β-bloker yang diberikan per oral berlangsung lambat. Efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah therapy dimulai, dan tidak diperoleh penurunan TD lebih lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Obat ini tidak menimbulkan hipotensi ortostatik. Pada orang normal, pemberian kronik obat ini tidak menimbulkan hipotensi.
c. Vasodilator
Bioavailabilitas minoksidil sekitar 90%. Waktu paruhnya 4,2 jam, tetapi masa kerjanyajauh lebih panjang (kira-kira 24 jam). Metabolismenya ekstensif, terutama terjadi bmetabolit yang tidak aktif. Eksresi obat utuh dalam urine 12%. Kadar plasma tidak berkolerasi dengan respon therapy.
d. Penghambat enzim konversi angiotensin
Kaptopril. Bioavaliabilitas oral 60-65%, dan berkurang bila diberikan bersama makanan, maka obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan. Ikatan protein plasma sekitar 30%. Waktu paruh eliminasinya sekitar 2,2 jam. Eksresi utuh dalam urine terjadi pada 40% dari dosis yang bioavaliabel, maka pada gangguan ginjal dosis obat harus dikurangi.
e. Antagonis kalsium
Waktu paruh eliminasi yang pendek/sedang dari kebanyakan antagonis kalsium menyebabkan obat harus diberikan 2-3 x sehari, bila dipaksakan 1x sehari belim tentu dapat bekerja 24 jam penuh. Waktu paruh amlodipin yang panjang memastikan dapat bekerja 24 jam penuh. Kadarnya pada 24 jam masih 2/3 dari kadar puncaknya.












BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Sebagai perawat kita mesti mengetahui cabang ilmu farmakologi yang akan kita gunakan dalam sudut pandang perawat. Pengkajian respons klien terhadap terapi obat merupakan tanggungjawab keperawatan yang tidak ada hentinya. Untuk dapat mengkaji, merencanakan, memberikan intervensi, dan mengevaluasi efek-efek obat dengan tepat, maka seseorang perawat harus memiliki pengetahuan tentang farmasetik, farmakokinetik, dan fase-fase farmakodinamik dari kerja obat. Penyuluhan kepada klien merupakan hal yang penting bagi klien agar mereka patuh kepada aturan dan terapi obat.

B. SARAN
1. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang pengetahuan tentang farmakologi.
2. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang respon tubuh terhadap interaksi dengan obat serta dampak negatif yang akan terjadi.
3. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang penanganan dan penyuluhan yang harus dilakukan untuk menangani maslah yang terjadi akibat interaksi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar